PELACUR
Hidup
dan Dosa
Disudut
kampung terpencil jauh dari keramaian, sebuah rumah
dengan atap berserakan, rajutan bambu kusam dan hampir rubuh sebagai dindingnya.
Itulah rumahku, sudah hampir 24 tahun aku menepati rumah peninggalan almarhum
ayahku, beliau meninggal bersama ibuku saat mereka berangkat untuk mengais
rezeki dengan menjajakan dagangannya di pinggir jalan, dan tanpa di duga truk
dengan muatan berat menabrak gerobak dan kedua orang tuaku, hingga beliau
menghembuskan hafas yang terakhir, aku masih ingat dengan jelas kejadian itu
ketika aku masih berumur 14 tahun begitu dengan kedua adik kembarku yang masih
berusia 2 tahun, sangat pagi bagi adik-adik ku untuk kehilangan kedua orang tua
ku, akan tetapi di usianya yang masih begitu kecil mereka belum mengerti
tentang semua itu. Kini Anis dan Adil sudah duduk di bangku kelas 3 sekolah
menegah perama (SMP), aku salut dengan
hasil belajar mereka berdua yang selalu bersungguh-sungguh dan penuh semangat menuntut ilmu. Jika saja kedua orang tuaku masih
ada, beliau pasti akan bangga pada kedua adik ku, akan tetapi semua itu
tidaklah mungkin karena beliau sudah tenang hidup di alam sana, “kata dalam
benak ku”.
Alaram
jam bedering seketika membangunkan tidur siangku yang begitu pulas, langsung
saja aku menghampiri meja makan karena perut ini tak tahan menahan lapar. Hanya
nasi di temani lauk seadanya yang tersisa, akan tetapi aku hanya memakan dua
sendok nasi saja karena aku teringgat kedua adikku sepulang sekolah nanti pasti lapar sekali, sudah tidak
ada lagi makanan yang akan kami makan untuk esok hari. Dalam lamunan yang
sering aku ulang dan ulang, aku selalu menginggat apa yang terjadi 10 tahun
yang lalu, begitu sedih dan sangat menderita ketika aku harus kehilanggan kedua
orang tuaku dan juga aku harus mengurus kedua adikku yang masih kecil. Aku
tidak tahu harus berbuat apa untuk menghidupi kedua adikku sementara aku masih
sekolah, akhirnya aku putuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja di kafe. Kenapa
aku memutuskan untuk bekerja di kafe, karena menurutku pekerjaan itu aku
kerjakan di malam hari dan siang harinya aku bisa mengurus kedua adikku. Terus
berusaha untuk mencukupi kedua adikku, hanya bisa makan setiap hari saja kami
sudah bersyukur.
Anis
dan Adil sudah waktunya mereka pergi untuk sekolah seperti anak-anak lain pada
umumnya, akan tetapi aku tidak mampu untuk memberikan itu semua. Ketika aku
akan berangkat bekerja, Anis berkata
padaku “kak santi”, “iya nis, ada apa?” jawabku langsung, sambut Anis “kakak,
aku dan Adil ingin sekolah”,diam dan terkejut, tak sepatah katapun yang bisa aku
keluarkan untuk menjawab perkataan dari adik ku tadi, hanya berjalan
meninggalkan rumah dan pergi untuk bekerja yang aku lakukan saat itu. Selama
aku bekerja aku selalu teringat kata adik ku yang begitu menginginkan sekolah,
sampai-sampai pekerjaanku pun jadi berantakan, tidak sengaja waktu aku
mengantarkan minuman kepada pelanggan tanganku bersenggolan dengan pengunjung
kafe dan minuman yang aku bawa langsung tumpah ke salah satu pengunjung lain
yang duduk disebelah kiri jalanku. “maaf, maaf pak saya tidak sengaja” sambil
membersihkan baju pengunjung yang terkena tumpahan air minum tadi, sambil
marah-marah dia memangil bosku “kurang ajar kamu, mana yang punya kafe ini
suruh kemari”. Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, hanya menerima
cacian dan bentakan-bentakan yang di lontarkan bos kepadaku setelah kejadian
itu, aku semakin tak bisa berfikir. Akhirnya salah satu rekanku menghampiriku
dan berkata
“ sudahlah san sabar, kalau ada
masalah cerita dong…”,
dengan suara yang serak menahan
tangis aku menjawab “ tidak apa-apa kok mir”,
sahut mira “ aku tahu kok kalau kamu punya
masalah, ayolah cerita sama aku ada masalah apa sih sebenarnya?”
saking maksanya akhirnya aku menceritakan
semua masalahku pada mira tentang kedua adik ku yang minta padaku untuk sekolah
dan aku tidak punya apa-apa untuk membiayai sekolahnya.
“Ooww begitu ya?, kasihan banget kamu
san” ekspresi mira setelah mendengarkan cerita ku tadi,
“iya” hanya satu kata yang bisa aku jawab dan
langsung mira berkata padaku
“ aku bisa bantu kamu san”
sempat tersentak dan berkata pada
mira “benarkah mir? Terimakasih ya…”, “tapi kamu mau tidak pekerjaan ini?”
tanya mira padaku,
langsung aku jawab dengan cepat dan tanpa
berfikir apapun “ mau mir, aku mau”,
“begini san, aku punya teman yang bisa bantu
kamu menyelesaikan masalahmu ini, akan tetapi pekerjaan ini berat sekali dan
aku takut kamu tidak suka dengan pekerjaan ini” sedikit penjelasan yang di
berikan mira,
”emang pekerjaan apa mir?” tanyaku
yang penasaran pada mira, jawab mira dengan pelan-pelan “maaf san, kamu mau
jadi pelacur?” “apa mir, pe,lacur?” jawabku dengan kanget dan suara keras,
“begini san, jika kamu mau akan aku
antar kamu menemui temanku itu, banyak low bayarannya bisa buat biaya kedua
adik kamu sekolah, piker-pikir saja dulu ya san?” penjelasan mira dan dia terus
meninggalkanku.
Setelah
beberapa hari aku terus berfikir tentang tawaran mira padaku dan tidak ada
jalan keluar lagi, akhirnya aku menemui mira untuk bertanya tentang pekerjaan
itu,
“Mirrr….” Teriakku pada Mira
Tenggok mira dan menghampiriku “iya
San, ada apa?”
Dengan berbisik-bisik pada Mira aku
bertanya “ aku mau Mir pekerjaan itu, dan apakah kamu mau bantu aku?”
“benarkah?” jawab Mira dengan
senyuman manisnya
“iya” jawabku sedikit ragu
“ok kalau begitu, setelah pulang
bekerja akan aku antar kamu bertemu dengan temanku, bagaimana San?” tanya Mira
padaku, dan aku pun tak sempat menjawab karena Mira pergi melanjutkan
pekerjaannya. Selesai aku kami bekerja Mira langsung menghampiriku dan
mengantarkanku kepada temanya, sejak saat itu lah aku berhenti bekerja di kafe
dan berganti bekerja menjadi pelacur, tak ada pikiran apapun yang ada di
benakku, hanya memikirkan kebahagiaan kedua adik ku, “apa pun akan aku lakukan
asalkan kalian bahagia seperti anak-anak yang lain walaupun kalian sudah tidak
punya kedua orang tua, tapi kakak berjanji pada kalian akan memberikan yang
terbaik untuk kalian adik-adik ku” kata hati dan seketika air mata menetes di
pipiku.
Sudah
7 tahun aku jalani hidup sebagai pelacur, sedikit bahagia pun aku tak pernah
dapatkan dari pekerjaan pelacur ini, aku muak, aku bosan rasanya setiap malam
aku harus melayani monyet-monyet berwujut
manusia itu. Jijik rasanya harus mengisab bau keringat mereka, gak tahan
benar-benar tidak tahan saat mereka menjilatiku, mengigitiku, menciumiku dan
mencekram dengan kasar tubuhku. Aku ingin muntah saat berdekatan dengan
monyet-monyet itu, ingin aku berhenti dan mengakhiri semua ini, akan tetapi
ketika aku teringgat senyum Anis dan Adil seketika rasa itu pun hilang, hanya
ikhlas lah yang aku punya demi kebahagiaan kedua adikku, dan sampai sekarang
pun mereka tidak mengetahui,dan aku pun tidak ingin mereka tahu apa yang aku
kerjakan, mereka hanya tahu aku bekerja di kafe. Aku tidak tahu mana ini hidup
dan dosa, pekerjaan ku menjadi pelacur bukan suatu pekerjaan yang terhormat di
mata semua orang, walaupun begitu akan aku jalani apapun yang akan terjadi
nanti dan esok demi kedua adik ku hingga sampai akhir dan mati.